Setelah disetujui ospek pada bulan Agustus yang lalu, kini balasannya saya menjawab tantangan yang hidup sebagai seorang mahasiswa. Saat ini saya sedang berkuliah di salah satu universitas terkemuka di Kota Yogyakarta. Kampus ini merupakan kampus idaman bagi banyak orang, tak terkecuali aku sendiri. Banyak siswa yang mati-bahasa berguru supaya bisa lolos tes masuk universitas yang mempunyai nama yang mentereng ini. Nggak cuma siswa aja ya, gaes. Para alumni pun sampe rela gabyear dan berjuang sekuat tenaga untuk mampu masuk ke kampus ini.
Setelah penutupan ospek, fikiran aku dipenuhi fikiran-anggapan negatif. Kalian jangan pada ngira aku ini orang yang pesimis ya…Walaupun ada secuil rasa pesimis sih sebenernya. Pikiran negatif ini timbul alasannya aku, selaku mahasiswi fakultas ilmu budaya yang bisa lolos masuk universitas ini lewat jalur gosokan Ale-ale merasa kurang usaha dibanding orang-orang yang masuk melalui tes jalur mampu berdiri diatas kaki sendiri. Saya takut jikalau nantinya aku tak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan para akademisi yang identik mempunyai sifat ambis dan keranjingan untuk mendapat nilai tepat. Namun, semua yang saya takutkan itu tidak 100 persen bener.
Huhuhuhu lega sekali rasanya…
Setelah melewati masa kuliah kurang lebih tiga bulan, aku yang awalnya merasa kurang cocok kesannya merasa nyaman. Tapi, ada satu masalah yang mengganjal di hati nih dan aku kebelet mengutarakannya nih. Makara, ini suatu kisah mengenai seorang kawan aku yang dicap kawan sekelasku selaku sosok yang ambis. Kawanku ini sungguh suka mengomentari apa yang disampaikan dosen, meskipun itu bagus dan merupakan bentuk aktif selaku seorang mahasiswa. Memang ambis bukanlah suatu dosa, tetapi entah kenapa hal ini dianggap sebagai sebuah ketaknormalan dan hal yang tabu untuk dijalankan di kelas kami. Beberapa mitra saya menganggap bila prodi kami ini prodi yang santuy, santuy kek di pantuy katanya. Kaprikornus, ya kalian pahamlah. Bukan itu aja, hal lain yang menciptakan mitra-kawan sekelas tak menggemari sosoknya yakni beliau suka merendahkan orang lain.
Kawan aku ini sering menilai mitra sekelasnya sosok yang tak lebih cendekia dari dirinya. Dia menilai jika dirinya yang lebih tahu dibanding kawan lainnya dan suka keras kepala dengan argumennya. So, akhirnya dia dijauhi mitra-kawan sekelas, meskipun tak sungguh-sungguh dijauhi, aku menggambarkannya seperti ada jarak di antara dia dan mitra sekelas kami. Jujur, saya merasa kasian dan juga kesal dengannya. Saya harap sih, beliau bisa membaur dengan kawan sekelas kami mirip di permulaan kelas.
Sebagai salah satu komponen kelas, saya ingin dia sadar akan salahnya, kemudian bisa kembali berbaur dengan kami. Nah, kalau ada di antara kalian yang pernah berpartisipasi, aku yang ingin menawarkan tau yang mendukung dengan yang bagus tanpa memberi kesan menggurui. Kalau memang tak mampu diajak kompromi, ya sudah, mau gimana lagi, itu kan kehendaknya, kita pasti tak mampu memaksanya. Lagi pula, setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda dan kita sebagai makhluk sosial sudah menerima dan mendorong. Iya kan? Lebih baik jangan terlalu mengurusi orang lain jika masalah sendiri belum kelar.
Kode Konten : KL002
Sumber we.com
EmoticonEmoticon