Salju terbentuk dikala partikel es kecil di awan menyatu dan membentuk kristal es. Saat kristal es itu terbentuk, beliau akan semakin membesar dengan cara menyerap air yang ada di sekitarnya. Ketika sudah menjadi cukup berat, mereka lalu jatuh ke atas tanah. Kumpulan kristal es ini yang kita lihat selaku titik-titik salju. Salju itu sendiri terbentuk dikala suhu udara sangat rendah dan ada kelembaban di atmosfir cukup untuk membentuk kristal es.
Proses terjadinya salju yakni terbentuk saat suhu atmosfir udara berada di bawah titik beku mirip 0 derajat celsius atau 32 derajat fahrenheit. Ada pula muatan minimal untuk kelembaban di udara.
Bila suhu tanah pada titik beku atau di bawahnya, salju akan meraih tanah. Namun, salju masih bisa meraih tanah dikala suhu tanah berada di atas titik beku jikalau kondisinya tepat. Dalam perkara ini, kristal salju akan mulai meleleh dikala mereka mencapai lapisan udara yang lebih panas. Lelehannya ini membuat pendinginan yang menurunkan suhu udara secepatnya di sekitar kristal salju yang meleleh ini. Pada umumnya, salju tidak akan terbentuk jikalau temperatur tanah tidak kurang dari 5 derajat celsius (atau 41 derajat Fahrenheit).
Salju bisa terjadi sekalipun suhu begitu rendah, selama masih ada sumber kelembaban dan udara masih terasa hambar. Namun hujan salju yang deras akan terjadi dikala ada udara hangat di sekitar tanah, lazimnya sekitar 9 derajat celsius (15 derajat Fahrenheit) atau lebih hangat lagi. Karena udara yang hangat bisa mengandung lebih banyak uap air.
Karena proses terjadinya salju membutuhkan kelembaban, maka area yang sungguh masbodoh tetapi sungguh panas bisa menjadi sungguh jarang mengalami hujan salju. Lembah Kering Antartika, contohnya, membentuk kawasan bebas salju terluas di benua tersebut. Lembah Kering ini cukup cuek namun memiliki angin yang sangat kuat untuk membantu mengurangi kelembaban di udara. Akibatnya tempat ekstrim bersuhu acuh taacuh ini tidak mengalami banyak salju.
Daerah Bersalju di Iklim Tropis
Salju diidentikkan dengan suhu udara cuek, sehingga secara logika mustahil ada salju yang turun di kawasan panas, misalnya kawasan beriklim tropis. Namun pada tahun 1623, seorang berjulukan Jan Carstenz mendapatkan puncak Jayawijaya yang bersalju ini. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama satu-satunya gletser tropika yang terdapat di Indonesia.
Dengan ketinggian 4.884 m di atas permukaan air bahari, Puncak Jayawijaya menjadi puncak tertinggi di Asia Tenggara dan termasuk dalam tujuh gunung paling tinggi sedunia setelah Mt Everest. Akibat dari ketinggian itu, daerah tersebut bersahabat dengan lapisan awan-awan yang tinggi bersuhu rendah. Awan-awan inilah yang mengandung banyak kristal-kristal es yang kesudahannya turun selaku salju.
Sementara itu zona demam isu di kawasan Papua Tengah tidak mengenal musim kemarau, kondisi zona tersebut juga berair sepanjang tahun. Oleh sebab itu perkembangan awan di sana relatif tinggi dan mengakibatkan hujan es.
Peranan Jenis Awan Bagi Turunnya Salju
Di tempat Pegunungan Dieng terdapat suhu udara ekstrim karena bersuhu sekitar 0 derajat Celsius. Ketika puncak isu terkini kemarau datang, dataran tinggi ini mengalami fenomena bun upas. Bun Upas ini yaitu istilah bagi petani lokal saat terjadi embun beku di pagi hari.
Menurut BMKG, penyebab fenomena itu ialah alasannya adalah puncak trend kemarau justru menyebabkan suhu udara di puncak Dieng menjadi rendah alasannya adalah adanya pemikiran udara cuek yang berasal dari Australia.
Namun suhu udara yang ekstrim rendah mirip itu tidak lantas menimbulkan Dieng mengalami salju. Alasannya tidak lain ialah alasannya adalah awan yang menumpuk di kawasan Dieng itu yakni awan cumulonimbus. Awan ini biasa timbul di daerah tropis dan membawa hujan bersamanya. Sedingin-dinginnya hawa di daerah tropis, awan cumulonimbus cuma mampu memberikan sebatas hujan es, bukan hujan salju.
Menurut Harry Tirto, Kabag Humas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG, cumulonimbus justru malah akan menjatuhkan hujan bersuhu hangat kalau menurunkan hujan dalam suhu ekstrim tersebut. Sementara itu awan yang bertanggung jawab untuk menurunkan salju yaitu awan nimbostratus.
Nimbostratus ialah jenis awan di lapisan rendah yang cukup tebal dan mempunyai bentuk yang menyebar, seperti kabut tebal yang menyelimuti langit dengan warna yang kelabu. Seperti awan cumulonimbus, awan nimbostratus juga ialah awan pembawa hujan. Namun bedanya, hujan yang diturunkan oleh nimbostratus tidak menyebabkan petir.
Ketinggian Dieng berada di 2.565 m di atas permukaan air maritim, relatif sama dengan ketinggian awan nimbostratus yang berada di kisaran 600 m-3.000 m di atas permukaan air laut. Itu sebabnya nyaris tidak mungkin salju mampu turun di dataran tinggi Dieng.
Lalu, bagaimana salju mampu ada di puncak Jayawijaya yang ketinggiannya jauh berada di atas lapisan awan nimbostratus? Rupanya syarat turunnya salju di sebuah tempat tidak cuma tergantung dari awan saja. Melainkan batas ketinggian yang bersangkutan dengan tekanan atmosfer pada tempat tersebut.
Tekanan atmosfer ini juga dipengaruhi oleh gaya gravitasi Bumi. Semakin erat suatu tempat dengan Bumi, maka makin besar tekanan atmosfernya. Semakin tinggi dari permukaan air bahari, tekanan atmosfer akan menjadi semakin ringan. Hal ini disebabkan karena semakin jauh dari permukaan Bumi, maka molekul udara juga menjadi semakin jarang. Pada ketinggian 3.200 m di atas permukaan air maritim, suhu udara telah mengalami penurunan yang drastis.
Adapun syarat proses terjadinya salju yaitu pada ketinggian di atas 4.500 m di atas permukaan air maritim di kawasan khatulistiwa. Pada ketinggian tersebut salju yang terdapat di kawasan itu tidak akan mencair sepanjang animo.
Sayangnya beberapa gletser di pegunungan Jayawijaya itu sudah menghilang. Antara tahun 1939-1962, puncak Trikora di Pegunungan Maroke, di sekeliling Jayawijaya ini sudah menghilang. Sementara itu semenjak tahun 1970, pemantauan dari satelit telah menunjukkan adanya penyusutan pada gletzer di Puncak Jayawijaya. Gletzer Meren telah mencair sepenuhnya pada tahun 2000, sedangkan gletzer lainnya pun mengalami penyusutan sebanyak 7 meter dan menghilang sama sekali di tahun 2015. Penyusutan balasan pemanasan global ini masih terus terjadi dan diprediksikan pada tahun 2020, sudah tidak ada lagi salju di puncak Jayawijaya.
Sumber ty.com
EmoticonEmoticon